Malam itu seperti biasa Raisa mengerjakan rutinitasnya
sehari-hari, bergujibaku dengan tugas-tugas kampus yang sepertinya tak kunjung
usai. Dari tadi siang hatinya memang merasakan ada yang mengganjal sejak
menerima pesan dari seorang lelaki yang dikenalnya belum lama ini.
AKHIR-akhir ini lelaki itu memang sering mengirim pesan pada
Raisa, sekedar untuk bertanya kabar. Tak biasanya, dalam pesannya lelaki itu
meminta izin untuk menelepon kepadanya. Raisa merasa ada yang aneh, tapi dia
menepis pikiran itu. Dalam hatinya berkata "Ya mungkin saja ada kepentingan
yang ingin disampaikan."
Sudah lewat
Isya, handphone Raisa masih belum juga berdering. "Mungkin dia tak jadi
menelepon," pikirnya. Waktu pun terus berlalu hingga akhirnya menunjukkan pukul
sembilan, tak lama kemudian handphone Raisa berdering, bertuliskan nama Fatih.
Dengan hati yang masih bertanya-tanya, Raisa mengangkat teleponnya.
"Hallo,
assalamualaikum..." terdengar suara lelaki dengan nada gugup.
"Waalaikum
salam," jawab Raisa.
Setelah beberapa
menit bertelepon, akhirnya selesai juga perbincangan di antara mereka. Ternyata
perbincangan itu cukup membuat Raisa terharu bercampur rasa bahagia yang baru
kali ini ia rasakan. Raisa tak mampu menahan air mata yang jatuh membasahi
pipinya. Baru kali ini ada lelaki yang berani menyatakan niat baiknya untuk
berta’aruf dengannya.
Selama ini,
banyak lelaki yang Raisa kenal dan mungkin beberapa di antara mereka ada yang
menyimpan perasaan pada Raisa. Namun, tak ada seorang pun dari mereka yang
berani mengajaknya berta’aruf.
"Ya Rabb,
diakah lelaki yang kau maksudkan untuk menjadi imam dalam salatku ? Menjadi
pengingat dalam salahku? Menjadi pelipur dalam sedihku?"
Betapa inginnya Raisa menerima ajakan ta’aruf dari lelaki
yang belum lama ini dia kenal itu. Namun, restu dari ibu dan ayahnya tetap
menjadi yang utama baginya. Tak lupa dia pun meminta petunjuk dari Yang Maha
Pembolak-balik hati lewat istikharah yang ia lakukan di malam-malam yang
menemani kegundahan hatinya itu.
Beberapa hari berlalu setelah kejadian itu, tiba waktunya
Raisa untuk memberikan jawaban pada Fatih. Tak selalu apa yang menjadi
harapannya akan menjadi kenyataan. Dengan berat hati, Raisa meyakinkan dirinya
bahwa jawaban yang ia berikan adalah jawaban yang terbaik dari-Nya karena ternyata
orang tuanya belum memberikan izin pada Raisa untuk berta’aruf dengan Fatih.
Sedih memang, tapi Raisa berusaha untuk ikhlas karena jika Fatih memang jodoh
yang Allah pilihkan untuknya, pasti mereka akan bersama betapa pun sulitnya
rintangan yang harus mereka lalui.
Kalaupun Fatih bukanlah jodoh terbaik untuknya, Raisa
berharap akan ada lelaki lain yang tak hanya sekadar menyatakan cinta belaka,
tetapi juga berani untuk mendatangi ibu dan ayahnya, meminta doa dan restu
untuk menghalalkannya.***
No comments:
Post a Comment