Mengaji, mengkaji isi-isi Alquran, dan mengikuti sunah
Rasulullah saw adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim ataupun muslimah. Itu
yang kulakukan setiap malam, bukan bermain atau keluyuran yang tak pasti,
tetapi menambah keimanan kepada sang Ilahi.
NAMAKU Zizi Aisyatul Azwa,
gadis yang tidak pantas disebut remaja dan tidak terlalu tua untuk
disebut dewasa. Keseharianku belajar ilmu agama dan mengajarkannya. Setiap
malam aku belajar ilmu agama ke kampung sebelah, tentunya ditemani
teman-temanku yang lebih muda dariku, meskipun umurku sudah cukup untuk menikah
namun belum ada ikhwan yang cocok denganku. Aku ingin mencari jodohku bukan dengan cara berpacaran.
Suatu malam, seperti biasa aku belajar ilmu agama ke kampung
sebelah, namun ada yang kurang.
Teman-temanku tidak bisa ikut ke pengajian karena mereka sedang ada keperluan
masing-masing. Ya harus gimana lagi, aku tetap berangkat dengan niat karena Allah.
Di perjalanan menuju pengajian, suasana terasa mencekam.
Bukan karena pohon-pohon tinggi nan rindang tetapi karena cuaca buruk seperti
akan terjadi badai. Ternyata benar, saat perjalanan pulang setelah pengajian,
terjadi badai besar hingga lampu di sepanjang
jalan mati dan aku pun harus menepi mencari tempat yang teduh.
Kulihat ada sebuah mesjid yang diterangi lilin. Tak berpikir
panjang, aku langsung pegi ke sana untuk berteduh. Di dalam masjid, kulihat
seorang ihkwan sedang duduk menulis sesuatu ditemani sebuah lilin yang terus menyala. Dengan rasa agak
takut, aku memberanikan masuk sambil mengucapkan salam.
“Assalamualaikum, bolehkah aku masuk?” tanyaku. Pemuda itu
hanya diam tak menjawab salamku, namun setelah lama terdiam, dia akhirnya
menjawab juga.
“Waalaikumussalam,
maaf ini sudah malam. Jikalau bisa,
silakan Ukhti pulang,”
“Tapi di luar sangat gela dan badai masih belum reda. Mana
mungkin aku bisa pulang?” kukuhku.
“Baiklah, tapi tolong duduk di sana,” tanpa melihatku
sedikit pun.
Aku pun menuruti perkataannya duduk di pojok mesjid itu.
Suara gemuruh badai membuatku agak takut, namun pemuda itu hanya diam dan terus
menulis seakan di luar tidak terjadi apa-apa.
Waktu terus berputar. Kulihat jam dinding telah menunjukkan
pukul 9 malam, waktu yang seharusnya seorang gadis sudah ada di rumah.
Tiba-tiba ada yang aneh, bukan hal-hal yang mistis, tetapi tingkah pemuda itu
yang kulihat dari kejauhan, dia membakar jari manis dan jari tengahnya yang
sebelah kiri pada lilin yang menyala.
Aku heran sekaligus takut kenapa dia lakukan itu? Dia terus
melakukannya, aku tidak bisa mencegah dia.
Aku hanya tertegun, diam membisu melihat kejadian itu.
“Ya Allah kenapa dia lakukan itu? Kenapa dia menyakiti
dirinya sendiri?” tanyaku dalam hati
Beberapa menit berlalu. Dingin menusuk kulit, rintikan air
hujan membuat mataku berat dan perlahan aku tak sadarkan diri, hingga aku
dibangunkan oleh pemuda itu.
“Ukhti, badai sudah berlalu. Maukah aku antar pulang? Ini
sudah hampir tengah malam,” tanyanya menawarkan bantuan.Sontak aku kaget dan
langsung terbangun. Kulihat jam menunjukkan pukul 11 malam.
“Aa Allah, pasti Umi
dan Abi mencariku,” cemasku dalam hati. Pemuda itu menawarkan bantuan lagi.
“Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Aku tidak kenal dia,
tetapi jika aku tolak tawarannya, aku akan lebih takut lagi karena hari sudah
tengah malam,” aku benar-benar was-was.
“Wahai Ukhti, saya tak bermaksud jahat padamu. Jika Ukhti
menerima tawaranku, Allah akan menjagamu dari nafsu yang ada pada diriku, namun
jika tidak, Allah akan menjagamu sepanjang jalan,” ucapnya dengan nada rendah.
Setelah mendengar penjelasannya aku pun menerima tawarannya
“Ya Akhi, saya terima tawaranmu, semoga Allah menjagamu dari
godaan syetan,”jawabku.
Lalu aku pulang diantar pemuda itu. Dia tidak melihatku
apalagi menyentuhku. Beberapa menit kemudian, aku sampai di rumah, kubuka
gerbang dengan perlahan dan menuju pintu, namun sebelum aku masuk ke rumah, aku
datangi dia yang menunggu di luar pagar, lalu aku bertanya kepadanya.
“Ya Akhi, bolehkah aku tanyakan sesuatu padamu? Kenapa kau
melukai dirimu sendiri dengan membakar jari tangan kirimu? Bukankah menganiaya
diri sendiri termasuk dosa?” tanyaku dengan serius.
“Maaf aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Ini sudah malam,
tidak seharusnya seorang perempuan dan lelaki berhkalwat,” jawabnya sambil
pergi. Aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa
pemuda itu? Aku masuk ke dalam rumah dan menjelaskan semuanya pada orang
tuaku.
Beberapa hari aku tak bertemu dengannya. Aku masih penasaran
dan ingin mendengar langsung jawaban atas pertanyaanku itu. Di balik itu, tersirat rasa rindu dalam diriku, mungkin aku
mulai menyukainya.
Setiap sore aku mengajar anak-anak ilmu agama dan sains di
madrasah yang dekat dengan rumahku. Bukan berarti aku anak yang pintar tetapi
hanya berbagi ilmu. Pulang mengajar, aku sempatkan waktu datang ke mesjid yang
sering dipakai pemuda itu untuk mengaji, namun tak berhasil. Pemuda itu tidak
pernah terlihat lagi setelah malam itu. Rasa penasaran bercampur dengan rasa
rindu, semakin bergejolak dalam dadaku.
“Mungkin dia sudah pindah?” tanyaku dalam hati dengan
perasaan sedih.
Lalu aku pun pulang. Di gerbang kulihat ada tamu, dari
suaranya tak asing bagiku. Aku pun masuk ke rumah dengan perlahan sambil
mengucapkan salam.
“Zizi kau telah pulang? Ayah akan kenalkan engkau dengan
teman ayah ini. Namanya Farabi, dia seorang dosen dan juga seorang pendakwah,”
kata ayah sambil memperkenalkan seseorang.
Aku sangat terkejut tatkala kulihat yang dikenalkan ayah
kepadaku adalah pemuda yang aku cari selama ini. Aku tak tahu kenapa ayah
memperkenalkan dia kepadaku, dan aku juga tak tau kalau pemuda itu teman ayah.
Aku hanya tersenyum dan langsung masuk kamar tanpa sepatah kata pun.
“Ya Allah, pemuda itu ada di rumahku. Setiap hari kucari dia
dan kau memudahkannya,” kataku dalam hati.
Beberapa menit kemudian, aku mendengar dari dalam kamar
bahwa dia berpamitan pulang. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini,
sontak aku keluar dari kamar dan berlari menghampiri pemuda itu yang sudah sampai
gerbang luar.
“Tolong tunggu Akhi….!” teriakku sambil berlari
menghampirinya.
Lalu dia berhenti dan berbalik ke arahku.
“Maaf jika aku lancang, aku hanya menginginkan jawaban atas
pertanyaan yang dulu pernah kutanyakan,” kataku.
Pemuda itu tersenyum dan memperlihatkan jari sebelah kirinya
yang masih belum sembuh total.
“Janganlah risau Ukhti, baik saya akan jelaskan. Setan terus
berbisik dalam hatiku dan nafsu terus mendorongku untuk mendekatimu saat itu,
dan jari ini sebagai saksi nanti bahwa saya telah melawan itu semua. Jika saya
tidak kuat dengan api dunia apalagi dengan api neraka, saya takut akan azab
Allah, jika saya mengikuti syetan dan hawa nafsu,” jawabnya dengan tutur kata
yang sopan.
Lalu pemuda itu pergi. Kulihat dari kejauhan dan kumulai berpikir
dia pantas untuk menjadi imamku.
Beberapa hari berlalu, selalu kuingat jawaban darinya dan merenungkannya.
“Zizi bisa kita bicara sebentar?” kata abi dan umi. Mereka
mengajakku berbicara di ruang keluarga.
“Zizi kau sudah dewasa, kau sudah seharusnya berumah tangga.
Kami sudah ihklas melepasmu. Abi dan Umi sudah mempunyai calon untukmu,”
“Terima kasih Abi, Umi,
tapi Zizi ingin dinikahkan dengan seseorang yang Zizi kehendaki,
”jawabku.
“Memangnya siapa gerangan yang Zizi sukai?” tanya Abi.
“Farabi..” jawabku seraya tersenyum.
“Kenapa Zizi memilih Farabi? Apakah karena parasnya,
hartanya, keturunannya, atau agamanya?” Abi bertanya.
“Karena agamanya, Bi. Seseorang yang takut Allah pasti ia
tidak akan merugikan orang lain,” jawabku sambil tersenyum mantap. Abi dan Umi
pun sangat senang. Mereka setuju jika aku dijodohkan dengan Farabi.
Alhamdulillah….!***
No comments:
Post a Comment