DIA adalah manusia yang tak tahu arti simpangan hidup, yang dia tahu.. hanya berjalan lurus, lurus, dan serius..Dia tak pernah tau, arloji jamnya meraung menginginkan sentuhan masakan lezat dari batu baterai baru.
"Alva…!! Cuci piring dulu, abis itu jaga warung, Emak mau keluar dulu," kata emaknya dengan nada cempreng. Alva tak menyahut, dia hanya berjalan dan mencoba membenarkan tumpukan terigu di dekatnya.
Sebenarnya ia adalah pria tampan, cerdas dan luar biasa, namun ia tak tau mengapa hidupnya kosong dan hampa. Ia hanya hidup dalam gelap dan sunyi bahkan mati. Tak seperti senja yang mabuk dalam indah dan cahaya. Itulah dia. Alva Kirania Agung Hastoro.
Bukan itu saja yang membuat dirinya sunyi dan mati, kepailitan hidup yang begitu dahsyat melanda dirinya sejak kejadian itu. Ya kejadian itu, bahkan sejak kejadian itu, Alva tak bisa lagi memanggil ibunya dengan sebutan mamih, karena malu oleh tetangga. Alhasil ia memanggil mamihnya dengan sebutan emak.
"Eh…..Ada Nak Alva, emakmu ke mana? Ibu beli terigu 1 kg, terus minyak sama gula ya," suruh ibu tetangga yang membeli dagangannya. Alva tetap tak menyahut, dia membungkus seluruh barang yang telah dipesan. Ah.. Jika saja hari itu tidak ada, mungkin Alva akan tetap sama seperti remaja lain. Dia tidak buta, dan dia tidak akan gagu. Namun, takdir tak berpihak padanya. Dia merasa bahwa dirinya hanyalah matahari di bulan purnama. Kecelakaan itu telah merenggut lorong masa depannya.
Ia tak pernah tau tragedi pesawat terbang itu menghilangkan cahaya matanya dan suaranya serta ayahnya yang amat ia sayangi. Setiap hari, ia selalu meringis dan membabi buta menahan cacian dan hinaan serta rasa bersalah yang terus menerus hadir dalam ingatannya. Kalau saja ia tak menerima beasiswa di Jepang itu, mungkin kini hidupnya akan baik-baik saja.
"Aghhhhh…!!!" Teriak hatinya. Ia melempar kerikil batu ke tengah sungai. Sunyi dan mati. Ia perlahan berdiri dan memutuskan agar dirinya pergi dan hilang dari dunia ini. Tapi.. Ia terhenti oleh suara yang tak asing bersemayam di telinganya.
"Kau.. Alva, mau ke mana? Mau mati? Lihatlah air itu.. Aku takut air itu. Jika kamu tenggelam di sana. Aku akan mati. Aku sahabatmu Alva…!" sahut laki-laki itu dengan nada menangis dan datang tiba-tiba. Alva terdiam, dia mematung namun suara itu tak asing..dia penasaran. Ada rasa yang tak jelas..dia ingin memeluk laki-laki itu dengan hangat. Tetapi penuh tanda tanya.
Setiap hari, detik, menit, jam, hari dan bulan dia selalu beradu cerita dengan lelaki misterius itu. Entah siapa dia. Dia mengaku sebagai sahabatnya. Yang paling membuat Alva penasaran, laki -laki itu seakan tau apa yang ingin dikatakan oleh Alva, tanpa Alva menceritakannya pun ia telah tahu semua. Ia selalu memberi petuah dan kiat hidup yang sebenarnya pada Alva. Alva mengerti akan hal itu. Dia bahagia bisa mengenal lelaki malaikat itu.
Suatu senja....
"Alva..kita telah kenal berapa lama ya?" tanya laki-laki itu. Alva diam saja. Dalam hati Alva dia menjawab, "Kita telah saling kenal selama 8 bulan," laki-laki itu tersenyum.
"Ya tepat sekali. Delapan bulan. Sudah lama ya?" ucap lelaki itu.
"Kalau begitu, aku memiliki hadiah untukmu, kamu pejamkan mata ya? Kamu harus janji jika nanti.. kamu membuka mata, kamu akan membuat tugu nisan di tempat yang kamu duduki,”permintaan lelaki itu penuh harap. Alva terdiam dan ia merasa bingung dengan permintaan konyol itu. Alva pun menutup mata. Beberapa menit kemudian ia membuka mata. Dia berada di sebuah tempat yang tak ada sungai.
Dia merasa aneh karena ia tau persis kalau di tempat ini terdapat sungai yang sangat besar. Yang lebih bingung lagi, ia dapat melihat dan suaranya telah kembali. Ajaib!! Semuanya kembali seperti semula. Ia meringkus ke tanah, bersujud syukur kepada Allah yang telah memberikan dia keajaiban yang tak masuk akal.
Di tengah isak syukurnya, ia teringat akan pesan lelaki itu. Dia mencari lelaki itu, dia tak ada. Alva pun teringat akan keinginan lelaki itu yang ingin memasang batu nisan di tempat yang diduduki Alva tadi. Untuk sementara waktu, Alva pun meletakkan batu yang besar di tempat itu. Hari itu adalah hari pertama bagi Alva melihat senja pertama pada bulan Februari.
Beberapa hari kemudian, Alva mengetahui bahwa itu adalah tempat kecelakaan pesawat yang Alva alami dulu. Ayahnya terbakar dan meninggal di tempat itu tanpa ada yang tahu di mana jasadnya. Setelah Alva mengusutnya, ternyata benar bahwa di tanah tersebut terdapat kerangka kaki manusia. Dan itu adalah kaki ayahnya. Jadi selama ini.. roh ayahnyalah yang menemani kematian Alva di dunia..ya kematian dalam hidup dan takdir.
"Tenanglah Ayah. Aku kini telah tahu arti hidup dan aku bukan lagi manusia persimpangan," ucapnya seraya berjalan menyusuri lorong rumah sakit tempat ia mengabdikan diri. Dan ia tersenyum melihat senja.***
No comments:
Post a Comment