Musik dalam Perspektif Al-Quran dan As-Sunnah


Musik pada hakikatnya bagian dari seni yang menggunakan bunyi sebagai media penciptaannya. Terdapat beberapa pendapat mengenai hukum musik dalam islam, ada yang menghalalkan dan ada pula yang mengharamkannya.


WALAUPUN dari waktu ke waktu beraneka ragam bunyi, seperti klakson maupun mesin sepeda motor dan mobil, handphone, radio, televisi, tape recorder, dan sebagainya, senantiasa mengerumuni kita, tetapi tidak semuanya dapat dianggap sebagai musik karena sebuah karya musik harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut merupakan suatu sistem yang ditopang berbagai komponen seperti melodi, harmoni, ritme, timbre (warna suara), tempo, dinamika, dan bentuk.

Nah, bagaimanakah Alquran menjawab itu? Pertanyaan ini menimbulkan jawaban beragam dan sikap yang berbeda menurut pendapatnya masing-masing. Ada yang membuka telinganya untuk semua jenis lagu dan semua corak musik, karena beranggapan bahwa itu dibolehkan dan termasuk kepada kebaikan duniawi yang dibolehkan oleh Allah bagi hamba-Nya.

Ada juga yang mematikan radio atau menutup telinganya ketika mendengar sayup-sayup suara nyanyian dengan mengatakan: "Nyanyian adalah serulingnya setan dan perkataan yang sia-sia, penghalang zikir dan salat, apalagi jika penyanyinya seorang wanita, menurutnya, suara wanita itu aurat." Mereka beragumentasi dengan ayat Alquran, As-Sunnah dan beberapa pendapat ulama. Mereka ada yang menolak segala macam jenis musik, walaupun sebagai pengantar (intro) warta berita.

Argumentasi yang Membolehkan Musik

Ayat Alquran dan As-Sunnah yang membolehkan musik, di antaranya: Q.S. Al-A’raf: 157. Artinya: “...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka...” (Q.S. Al-A’raf: 157)

Adapun faktor yang dijadikan dalil dari ayat tersebut, menyatakan halalnya segala hal yang baik dalam Risalah Muhammadiyyah. Risalah tersebut merupakan undang-undang yang mudah dan ringan. Ath-Thayyibat (segala yang baik) adalah kalimat jamak dengan alif dan lam, menunjukkan makna umum, meliputi segala hal yang baik tidak terhingga dan Ath-Thayyib (segala yang baik) menurut mayoritas biasanya identik dengan hal-hal yang dinikmati dan juga diidentikan dengan hal yang Thahir (bersih) dan halal. Bentuk kalimat umum dan menyeluruh meliputi setiap unsur dari bagian-bagian yang umum, maka mencakup segala unsur dari ketiga hal yang telah disebutkan.

Hadis, "Ma Kaana Ma’ahum Lahwun"  Di antara hadis-hadis lain yang membolehkan lagu adalah hadis tentang ‘Aisyah r.a., pada pernikahan kerabatnya yang bersuamikan orang Anshar, walimah pernikahan yang diam-diam (tanpa ada hiburan apa pun), maka seakan-akan Rasulullah saw., mengkritik hal itu. Al-Bukhari dan Imam Ahmad meriwayatkan: "Dari ‘Aisyah r.a., bahwa beliau menghadiri pernikahan seorang wanita Anshar, maka Nabi saw. bersabda: "Wahai 'Aisyah, apakah mereka tidak memainkan lahwun? Bukankah orang Anshar sangat suka permainan?"

Dalam sahihnya, Ibnu Hibban meriwayatkan dari 'Aisyah r.a., beliau berkata: "Di kamarku ada Jariyah orang Anshar, kemudian aku menikahkannya, maka Rasulullah saw. masuk pada hari pernikahannya itu, beliau sama sekali tidak mendengar nyanyian (lagu) ataupun lahwun, kemudian beliau bersabda: "Wahai 'Aisyah, apakah engkau tidak memberikan nyanyian untuknya?” kemudian beliau bersabda lagi: “Bukankah di kampung ini kampungnya orang Anshar yang mereka itu sangat menyukai lagu?"

Di antara keistimewaan hadis di atas bahwasanya Rasulullah saw. seperti diungkapkan dalam salah satu riwayat memberikan nasihat kepada orang lain dengan memberikan contoh kalimat yang layak untuk dinyanyikan dalam acara walimah yang bahagia seperti itu, dan semestinya bait-bait lagu itu dikenal dan biasa dinyanyikan oleh orang tersebut.

Hadits lain: Hadits Ar-Rubayyi binti Muawwidz, Hadits “Apabila kamu bernadzar, maka tunaikanlah, Hadits “Rakhasa Luna al-Lahwa fi al-‘Arsy”, Hadits “Tuhibbina An-Tughamik Fa Ghanniytaha”, Hadits “Batas antara haram dan halal adalah tabuhan duff dan nyanyian dalam walimah”.

Argumentasi yang Mengharamkan Musik

Ayat Alquran dan As-Sunnah yang mengharamkan musik, di antaranya  Q.S. Al-Qashash: 55 tentang orang yang mengharamkan lagu dan musik berargumentasi dengan ayat yang memuji orang-orang mukmin:

Artinya: “dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata. Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Q.S. Al-Qashash: 55)

Mereka berpendapat bahwa lagu dan nyanyian termasuk perkataan yang sia-sia (lagwun), maka wajib dihindari. Ayat tersebut dengan jelas memaksudkan kalimat lagwun (sia-sia) dengan perkataan jahil, atau perkataan kasar seperti hinaan, cacian dan lain-lain. Jika ayat di atas mengandung makna “lagu”, maka pasti kita akan menemukan ayat yang menganjurkan berpaling darinya dan tidak ada dalam ayat tersebut yang mewajibkannya.

Imam Al-Ghazali mengatakan: “Jika menyebut nama Allah untuk sumpah tanpa ada maksud dan sungguh-sungguh serta tidak mengandung faedah, maka tidak ada hukum, jadi bagaimana mungkin menghukum terhadap syair dan tarian.”

Dapat dikatakan tidak setiap nyanyian itu lagwun (sia-sia), namun tergantung pada niatnya. Niat yang baik untuk tawarrub (mendekatkan diri kepada Allah) atau taat, menjadikan hukum kesia-siaan dibolehkan. Sementara niat yang jelek dapat menghilangkan pahala amal ibadah yang dalam hatinya ada riya. Dalam kitab shahih Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupamu dan hartamu, akan tetapi melihat hati dan amalmu.”

Adapun ayat lainnya: Q.S. Lukman: 6, Q.S. Al-Furqan: 72, Q.S. Al-Isra: 63-64, Q.S. An-Najm: 59-61.

Hadis “Al-Kubah wal Ghubaira” mengharamkan lagu berargumentasi pula dengan hadis dari Ibnu Umar diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud, Rasulullah saw. berkata: “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr, judi, alat musik perkusi dan alat musik petik. Setiap yang memabukkan adalah haram.”

“al-Kubah” (alat musik perkusi) adalah tambur atau sejenisnya, dan “al-Ghubaira” (alat musik petik) ialah rebab, gitar, dan sejenisnya. Dari keotentikan sanadnya, Asy-Syaukani mengatakan dalam kitab Nailul Authar tentang hadis Ibnu Umar, dan kesimpulannya hadis di atas terdapat illat (kecacatan).

Jika tidak ada kesamaan dalam penafsiran sebuah kata dan terdapat kemungkinan-kemungkinan, maka tidak dapat dijadikan argumentasi karena menurut Al-Khatib dan Abu Ubaid, al-Kubah itu berarti permainan dadu dan al-Ghubaira itu berarti khamr yang terbuat dari jagung atau gandum. Kemudian penafsiran tersebut lebih tepat dan diakui berdasarkan teks hadis yang mencantumkan lafadz khamr dan judi. Argumenrasi ini bisa diterima jika sahih, tapi bagaimana bisa diterima jika ternyata hadis tersebut tidak sahih?

Hadis lain, hadis Ma’azif, “Ancaman yang memainkan Al-Qayan, Al-Ma’azif, an Dufuf”, Hadis tentang Al-Qaynat, Hadis “Dua suara yang dilaknat; suara seruling ketika datang nikmat, dan jeritan ketika datang bencana, hadis “seruling pengembara”, hadits “Lagu menumbuhkan sifat munafik dalam hati”.

Begitulah musik. Kontroversial. Akan tetapi, bagaimanapun keadaannya, ketika ketika mengenal musik atau memainkkannya, yang penting niat dalam hati kita. Jika tujuannya baik, baik pulalah sifatnya, dan sebaliknya. Wallahu a’lam ***

No comments:

Post a Comment

Artikel Populer